Ayah Anak Perempuan

Sepertinya menyedihkan menjadi seorang ayah untuk anak-anak perempuan. Kau tahu, begitu lekatnya mereka kepada ayahnya. Suara-suara kecil me...

Sepertinya menyedihkan menjadi seorang ayah untuk anak-anak perempuan. Kau tahu, begitu lekatnya mereka kepada ayahnya. Suara-suara kecil mereka selalu bisa menjadi obat penenang di kala dunia tak bersahabat. Macam ekspresi mereka menjadi warna-warni hari di saat dunia tak bisa berkompromi.

Kau tahu, tangan-tangan lembut dan luap senyum dari raut wajahnya selalu menjadi penawar hati sewaktu dunia penuh dengan sulut emosi. Putri-putrimu selalu menjadi matahari-matahari yang siap kapan saja menerangi harimu.

Kadang orang banyak berkata raut wajahnya serupa dengan ibunya, dan lucunya kau tak terima. Karena mereka jauh lebih lekat denganmu, kau rasa sudah sepantasnya wajah lugu mereka lebih mirip paras kerasmu dibanding lembut tutur nanar istrimu.

Lepas tawa mereka yang kadang pun kau tak mengerti apa yang mereka tertawakan selalu membuat hati kecilmu ikut tersenyum. Membayangkan betapa bahagianya putri-putrimu itu. Belum lagi gelagat siasat mereka yang bertindak manja hanya untuk membuat hatimu luluh pada keinginan mereka. Dan lucunya kau akan selalu luluh karenanya.

Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, kuncup-kuncup bungamu itu semakin berwarna. Mahkota-mahkotanya mulai mengembang dan harum semerbaknya mulai tersebar. Di saat itu kau mulai menyadari bahwa tak selamanya kau menjadi lelaki tertampan untuk mereka. Di saat itu kau mulai menyadari tak selamanya kehangatan yang mereka butuhkan bisa datang darimu.

Waktu terus menyeruak dari segala sisi, sama seperti cahaya matahari yang dapat seenaknya masuk ke rumah melalui jendela tanpa bilang permisi. Bunga-bungamu itu semakin indah untuk dipandang, semakin lekat untuk digenggam. Di saat itu kau mulai menyadari bahwa tak sembarang orang bisa menikmati keindahannya. Tak semua orang bisa menikmati harum semerbaknya.

Kau mulai sadar namun was-was apakah kelak mereka akan menjadi bunga-bunga peradaban, setidaknya untuk keluarga kecil mereka. Hati kecilmu masih dipenuhi rintik-rintik tawa mereka, kecipak lemah rengekan mereka, dan sentuhan manja mereka yang sengaja diciptakan Tuhan untuk meluluhkan hatimu.

Dan hal itu pun terjadi. Hal yang membuatmu amat bahagia namun juga dalam waktu yang sama menghancurkan semua kenangan yang ada di hati. Tutur lembut wajah mereka, lenting lirih canda mereka, dan simpul senyum yang selama ini berputar di sekeliling otakmu.

Mereka kini sudah berpindah, dari duniamu yang amat keras. Yang membuat mereka harus berusaha lebih. Menuju dunia yang menurut mereka kini lebih menghangatkan, lebih menceriakan, dan segala lebih yang mungkin tak dapat kau bayangkan. Bunga-bunga itu sudah tumbuh bersama tangan-tangan titipan Tuhan yang bersedia huyung untuk mereka.

Yang kau bisa lakukan setelah itu hanya berdoa. Semoga tempat mereka berlabuh kini bukan tempat yang membuat mahkota bunga-bungamu itu semakin pudar warnanya dan semakin hambar wanginya. Kau hanya bisa berdoa bahwa tangan-tangan yang merawat mereka kini adalah tangan-tangan terampil yang tidak hanya dapat melukiskan bunga namun juga bisa menceritakan pada bunga bahwa dunia begitu luas dan ia akan membawa bungamu itu mengelilinginya.

Disitulah kau menyadari bahwa pada akhirnya. Letup-letup tawa mereka yang selalu kau dengar ketika mereka masih sebesar dua telapak tangan. Hilang juga ditelan waktu. Dan kau tinggal berdua. Lagi. Bersama istrimu.

Namun setidaknya ada satu hal yang membahagiakan menjadi ayah dari anak-anak perempuan. Adalah kau akan selalu menjadi yang paling tampan dalam keluarga kecilmu.

27 Desember 2016
Surabaya

You Might Also Like

0 komentar