Wanita Yang Tersandung
10:40:00
Wanita itu sedang terburu. Berjalan sendiri dengan
tas pundak serta setumpuk kertas yang tinggal di kantung jinjingnya. Jaket
merah, kaca mata bulat bening, celana panjang hitam, dan sepatu coklat yang
lembut namun keras terhadap batu. Hirau atau tak hirau, tak terlalu yakin, yang
jelas dia berjalan sendiri dengan kesibukannya.
Dua Tiga Empat langkah pasti ia utuhkan. Pandangan
lurus ke depan, tak peduli keramaian yang baru saja ia lewati. Kuncir sebahu dengan pita
biru bergoyang-goyang ke atas, bawah, kanan, kiri. Cuaca sedang mendung namun
ada sedikit keringat di dahinya, mungkin karena ia sedang terburu. Mengejar hal
yang entah apa, aku pun tak tahu.
Tatapnya merajuk pada satu titik yang membuatnya
sedikitpun tak menghiraukan apa yang ada di sekelilingnya. Tas pundak dan
kantung jinjingnya seakan berkata ada yang lain dari wanita ini, tak seperti
biasanya. Mungkin dia sedang sedih, atau gundah? Atau marah? Atau apapun itu.
Dari tatapnya dan tingkah lakunya, terlalu terburu-buru. Mungkin dikejar
sesuatu atau lari dari sesuatu. Sepertinya ia sedang tak bahagia.
Tak sengaja, mungkin karena benar-benar terburu.
Jalan gelombang yang sudah berbulan-bulan tak kunjung diperbaiki menghalangi
sepatu lembut itu. Lima Enam langkah pasti dan ke-Tujuh. Bruaakkk. Ia
tersandung. Tak mengapa, ia hanya tersandung oleh jalan yang bergelombang. Yang
sudah sejak berbulan-bulan tak kunjung diperbaiki itu.
Ia menatap padaku, sama seperti tatap yang ia
berikan pada titik yang ku tak tahu dimana. Sekilas namun pasti, dia
menggetarkan pena dan kertas yang sedang ku genggam. Mungkin ia sedang tak
ingin diganggu. Mungkin juga dia mengerti seseorang sedang menulis tentangnya.
Wanita :
Hari ini hari yang baik sekali. Pagi tadi kudapatkan
kejutan dari seseorang yang kusayangi. Sedikit kalimat manis yang membuat
hariku berbeda.
“Selamat pagi manis. Senyummu telah memekar pada
ujung mimpiku pagi hari ini. Ku kirim seribu… Oh tidak, berjuta-juta rinduku
padamu. Semoga kau bisa terjemahkan menjadi satu kalimat yang selalu kita
ucapkan. Aku sayang kamu.”
Setelah siap dengan jaket merah kesayanganku,
kacamata bulat yang ayah berikan padaku, celana panjang hitam hasil tabunganku,
dan yang paling ku sayang sepatu coklat darinya yang begitu lembut untuk
jari-jari kecilku namun keras pada jalanan yang kadang tak menentu.
Tak banyak bawaanku. Hanya tas pundak dengan isi
seadanya. Sedikit buku untuk hari ini, sepotong biskuit, dan sebotol teh hangat
yang kusiapkan untuk hari ini.
Di jalan tak kusangka banyak orang menyapaku hari
ini, tak seperti biasanya. Bahkan temanku memberi satu tas jinjing berisi buku
yang telah lama kupesan. Betapa indahnya hari ini.
Niiittttt… Niiittttt…
Ponselku berdering dan berisi pesan yang tak
kusangka. Ibu datang menjemputku ke tanah rantau. Setelah 1 tahun tak pernah
berjumpa karena kesibukanku, akhirnya Ibu sengaja datang ke rantauanku. Hari
ini sungguh membahagiakan.
Ibu bilang, ia ada di ujung jalan, menungguku. Kata
ibu ia ingin mengajak ku ke tempat es krim yang terkenal di kota ini. Es krim
kesukaanku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di tanah rantau ini. Sudah
tak sabar aku bagaimana rasanya berbincang dengan Ibu sambil saling bersuapan
es krim yang sudah tak terbayang rasanya. Segera ku hampiri Ibu di ujung jalan.
Sengaja ku ayunkan langkahku. Dua Tiga Empat langkah
pasti ku utuhkan dengan pandangan lurus ke depan. Tak kuperdulikan keramaian di
kanan-kiriku. Dahiku sedikit berkeringat padahal langit sedang mendung, mugkin
karena aku sudah tak sabar bertemu dengan Ibu. Lima Enam langkah dengan pasti
ku ayunkan kakiku, tentu dengan sepatu coklat kesayanganku.
Langkah ke-Tujuh. Bruaakkk. Aku tersandung terkena
gelombang jalan yang sepertinya sudah berbulan-bulan tak kunjung diperbaiki.
Tak apa hanya sedikit guncangan tak membuatku jatuh. Kantung yang ku bawa di
tanganku pun tak jatuh. Aku harus segera bertemu dengan Ibu.
Setelah tersandung aku sedikit menoleh. Mengapa
gelombang jalan itu tak kunjung diperbaiki. Namun yang membuatku heran adalah
lelaki yang duduk sendiri di sudut keramaian. Dengan kertas dan pena di
tangannya. Serius sekali dia memerhatikanku. Sambil menulis namun tatapannya
tetap kepadaku.
Tak apa lah, mungkin dia sedang sibuk bergulat
dengan kata. Atau bisa jadi sedang sibuk menulis tentangku.
5 Oktober 2016
Surabaya
0 komentar