Wanita Yang Tersandung

Wanita itu sedang terburu. Berjalan sendiri dengan tas pundak serta setumpuk kertas yang tinggal di kantung jinjingnya. Jaket merah, kaca m...

Wanita itu sedang terburu. Berjalan sendiri dengan tas pundak serta setumpuk kertas yang tinggal di kantung jinjingnya. Jaket merah, kaca mata bulat bening, celana panjang hitam, dan sepatu coklat yang lembut namun keras terhadap batu. Hirau atau tak hirau, tak terlalu yakin, yang jelas dia berjalan sendiri dengan kesibukannya.
Dua Tiga Empat langkah pasti ia utuhkan. Pandangan lurus ke depan, tak peduli keramaian yang baru saja ia lewati. Kuncir sebahu dengan pita biru bergoyang-goyang ke atas, bawah, kanan, kiri. Cuaca sedang mendung namun ada sedikit keringat di dahinya, mungkin karena ia sedang terburu. Mengejar hal yang entah apa, aku pun tak tahu.
Tatapnya merajuk pada satu titik yang membuatnya sedikitpun tak menghiraukan apa yang ada di sekelilingnya. Tas pundak dan kantung jinjingnya seakan berkata ada yang lain dari wanita ini, tak seperti biasanya. Mungkin dia sedang sedih, atau gundah? Atau marah? Atau apapun itu. Dari tatapnya dan tingkah lakunya, terlalu terburu-buru. Mungkin dikejar sesuatu atau lari dari sesuatu. Sepertinya ia sedang tak bahagia.
Tak sengaja, mungkin karena benar-benar terburu. Jalan gelombang yang sudah berbulan-bulan tak kunjung diperbaiki menghalangi sepatu lembut itu. Lima Enam langkah pasti dan ke-Tujuh. Bruaakkk. Ia tersandung. Tak mengapa, ia hanya tersandung oleh jalan yang bergelombang. Yang sudah sejak berbulan-bulan tak kunjung diperbaiki itu.
Ia menatap padaku, sama seperti tatap yang ia berikan pada titik yang ku tak tahu dimana. Sekilas namun pasti, dia menggetarkan pena dan kertas yang sedang ku genggam. Mungkin ia sedang tak ingin diganggu. Mungkin juga dia mengerti seseorang sedang menulis tentangnya.
Wanita :
Hari ini hari yang baik sekali. Pagi tadi kudapatkan kejutan dari seseorang yang kusayangi. Sedikit kalimat manis yang membuat hariku berbeda.
“Selamat pagi manis. Senyummu telah memekar pada ujung mimpiku pagi hari ini. Ku kirim seribu… Oh tidak, berjuta-juta rinduku padamu. Semoga kau bisa terjemahkan menjadi satu kalimat yang selalu kita ucapkan. Aku sayang kamu.”
Setelah siap dengan jaket merah kesayanganku, kacamata bulat yang ayah berikan padaku, celana panjang hitam hasil tabunganku, dan yang paling ku sayang sepatu coklat darinya yang begitu lembut untuk jari-jari kecilku namun keras pada jalanan yang kadang tak menentu.
Tak banyak bawaanku. Hanya tas pundak dengan isi seadanya. Sedikit buku untuk hari ini, sepotong biskuit, dan sebotol teh hangat yang kusiapkan untuk hari ini.
Di jalan tak kusangka banyak orang menyapaku hari ini, tak seperti biasanya. Bahkan temanku memberi satu tas jinjing berisi buku yang telah lama kupesan. Betapa indahnya hari ini.
Niiittttt… Niiittttt…
Ponselku berdering dan berisi pesan yang tak kusangka. Ibu datang menjemputku ke tanah rantau. Setelah 1 tahun tak pernah berjumpa karena kesibukanku, akhirnya Ibu sengaja datang ke rantauanku. Hari ini sungguh membahagiakan.
Ibu bilang, ia ada di ujung jalan, menungguku. Kata ibu ia ingin mengajak ku ke tempat es krim yang terkenal di kota ini. Es krim kesukaanku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di tanah rantau ini. Sudah tak sabar aku bagaimana rasanya berbincang dengan Ibu sambil saling bersuapan es krim yang sudah tak terbayang rasanya. Segera ku hampiri Ibu di ujung jalan.
Sengaja ku ayunkan langkahku. Dua Tiga Empat langkah pasti ku utuhkan dengan pandangan lurus ke depan. Tak kuperdulikan keramaian di kanan-kiriku. Dahiku sedikit berkeringat padahal langit sedang mendung, mugkin karena aku sudah tak sabar bertemu dengan Ibu. Lima Enam langkah dengan pasti ku ayunkan kakiku, tentu dengan sepatu coklat kesayanganku.
Langkah ke-Tujuh. Bruaakkk. Aku tersandung terkena gelombang jalan yang sepertinya sudah berbulan-bulan tak kunjung diperbaiki. Tak apa hanya sedikit guncangan tak membuatku jatuh. Kantung yang ku bawa di tanganku pun tak jatuh. Aku harus segera bertemu dengan Ibu.
Setelah tersandung aku sedikit menoleh. Mengapa gelombang jalan itu tak kunjung diperbaiki. Namun yang membuatku heran adalah lelaki yang duduk sendiri di sudut keramaian. Dengan kertas dan pena di tangannya. Serius sekali dia memerhatikanku. Sambil menulis namun tatapannya tetap kepadaku.
Tak apa lah, mungkin dia sedang sibuk bergulat dengan kata. Atau bisa jadi sedang sibuk menulis tentangku.

5 Oktober 2016
Surabaya

You Might Also Like

0 komentar