Surat untuk Induk Sate

10 Agustus 2016, Surabaya Kepada induk sate Hai, lama tak jumpa. Bagaimana kabar tusuk-tusukmu? Sudah tegak pada tumpunya atau masi...

10 Agustus 2016, Surabaya

Kepada induk sate

Hai, lama tak jumpa. Bagaimana kabar tusuk-tusukmu? Sudah tegak pada tumpunya atau masih membandel bergeliat seperti yang pernah kau ceritakan? Kurasa tusuk-tusuk itu masih perlu banyak belajar, persis seperti yang kubilang tentang bidang-bidang bambu yang dulu kau pilih dan pilah di halaman belakang. Kubilang padamu walau ruas-ruasnya lebar dan tebal, tetap saja harus kau sekolahkan mereka, supaya kau sendiri yang tak kerepotan nantinya. Setelah menjadi tusuk-tusuk seperti yang kau suratkan padaku beberapa bulan yang lalu, kau bilang mereka masih saja menggeliat dan tak mau diatur. Ku sarankan sekarang, kau ambil saja kursus di perempatan jalan itu, kata orang-orang itu bisa membuat tusuk-tusuk tegak pada tumpunya hanya dalam beberapa hari saja!
Oh iya, bagaimana kabar daging-dagingmu? Itu loh yang ayam dan kambing. Masih saja ku ingat ketika dulu aku menyambangi rumahmu, mereka sedang asyik bermain di kolam hitam, berisi air bumbu. Kecil-kecil sekali mereka dulu itu, bahkan untuk ukuran anak kecil kukira mereka bisa disebut kerdil. Yah hanya seukuran satu ruas jari telunjuk, dengan tebal tak lebih dari kuku jari kelingkingku. Tapi untuk ukuran anak kecil, mereka bisa kubilang cukup lincah. Air bumbu yang teraduk dalam bak itu saja, hingga tidak karuan warnanya ketika mereka bermain-main di dalamnya. Huh, aku jadi semakin rindu saja bertemu dengan mereka. Bagaimana bentuknya mereka sekarang ya. Walaupun lincah, daging-daging itu aku akui memiliki perangai dan sikap yang baik. Apalagi ketika kulihat mereka mau dibariskan dengan rapih tiga orang tiap barisnya untuk di sejajarkan di tusuk sate yang dulu belum sempat kau sekolahkan itu. Betapa beruntungnya kau memiliki daging-daging kecil yang lincah namun penurut itu.
Oh iya hampir saja terlupa, masih juga teringat oleh ku kacang-kacang yang dulu tinggal di pelataran rumahmu. Dulu mereka masih botak dan terpisah satu sama lain. Jelasmu, mereka salah satu dari anak-anakmu yang susah untuk diatur. Bagaimana tidak, mereka tumbuh jauh di bawah tanah. Gelap, sesak, padat, tidak enaklah pokoknya. Wajar bagiku ketika mereka terlepas dari kulitnya dan langsung menyebar kesana kemari tanpa aturan. Saranku jangan terlalu keraslah kepada mereka, biarkan mereka merasakan kebebasan mereka terlebih dahulu, toh bukannya saat kecil kita juga begitu di kampung? Kulihat di laman facebook mereka sekarang sudah mau bergaul dengan yang lainnya. Terutama si kecap, olahan kacang kedelai dari kampung lain. Dari foto yang kudapat, mereka bisa berbaur akrab dalam satu piring bening. Apakah kau yang mempersaudarakan mereka dalam piring bening tersebut? Kalau memang begitu, syukurlah. Arahanmu tampaknya tepat, mereka terlihat begitu akrab satu sama lain.
Kerabatmu arang dan kipas bambu, apakah mereka masih sehat? Semoga masih sehat ya, kalau tidak siapa yang akan mengurus anak-anak itu tadi. Kau pasti akan kewalahan bila tanpa bantuan dari mereka berdua. Dari ceritamu beberapa bulan yang lalu, kukira sudah seharusnya arang digantikan dengan batok-batok kelapa dari halaman belakang. Sudah terlalu tua dan lama-kelamaan bisa menjadi abu si arang itu, dan ku kira para batok sudah cukup matang untuk bisa mengurus anak-anak tadi. Kipas bambu juga nampaknya sudah perlu diobati dari penyakitnya. Apakah kau lihat, sudah banyak lubang di sekujur tubuhnya, mungkin jika kau bawa ke klinik Pak Tohir si mantri anyam itu, kipas bambu bisa membantumu dengan lebih baik lagi. Dan kau bisa mengurus anak-anak itu dengan lebih baik.
Hei Induk Sate, sampai lupa aku menanyakan kabarmu. Bagaimana kumis melipir di bawah hidung lebarmu? Masih seringkah kau memainkannya ketika kau mengurus anak-anak itu? Baju garis merah horizontal yang kerap kau pakai ketika mengurus anak-anakmu itu, kini aku telah memilikinya. Kau tau dimana aku mendapatkannya? Aku membelinya di seberang Jembatan Suramadu, tidak jauh dari situ, hanya beberapa ratus meter ada penjual yang menjajakannya di tepi jalan. Sudah lama aku menginginkannya, dan kau tau berapa harga yang aku dapatkan? Setelah berdebat tentang harga, aku hanya perlu membayar 20 ribu rupiah! Bayangkan hanya 20 ribu rupiah! Ini akan menjadi baju favoritku yang akan aku pakai di acara-acara penting. Yang masih kurang adalah ikat kepala yang belum juga aku temukan dimana tempat membelinya. Ikat kepala yang hampir setiap hari kau kenakan, aku harus mendapatkannya agar lengkap gayaku serupa denganmu ketika akan menghadiri acara-acara penting nantinya. Perutmu kini membuncit ya, kawan? Beberapa waktu lalu aku liat di timeline Twitter di dalam foto yang kau post itu, betapa perutmu begitu berubah sejak terakhir kali aku bertemu denganmu.
Induk Sate, kukira sudah cukup panjang suratku ini untukmu. Salam untuk tusuk-tusuk, daging ayam, daging kambing, kacang dan kecap kerabat barunya, arang, serta kipas bambu. Jika ada waktu akan kusempatkan untuk bertemu dengan kalian di kampung. Oh iya terakhir aku beritakan kini aku sedang membuka warung sate di pinggir Jalan Mulyosari, harap kau menyempatkan waktu untuk membelinya ya.

Salam Hangat


Saudaramu

You Might Also Like

0 komentar