Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa

Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa Penulis         : Tim Penulis Penerbit       : KPG (Kepustakaan Popuer Gramedia) bekerja sama dengan ...

Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa
Penulis         : Tim Penulis
Penerbit       : KPG (Kepustakaan Popuer Gramedia) bekerja sama dengan Majalah  TEMPO
Cetakan       : I, September 2010
Tebal           : 172; 184; 222; 124
ISBN           : 978-979-91-0897-5; 978-979-91-0899-9; 978-979-91-0898-2; 978-979-91-0896-8

Sembari memeringati 100 tahun hari lahirnya para pendiri bangsa Indonesia (kecuali Tan Malaka), majalah TEMPO hadir membawa sesuatu yang luar biasa. TEMPO mengulas kembali sejarah yang mungkin sempat dilupakan segenap bangsa Indonesia terhadap tokoh-tokoh yang berperan dalam pendirian negara Republik Indonesia. Sebut saja presiden pertama Soekarno, wakil presiden pertama Muhammad Hatta, perdana menteri pertama Sutan Sjahrir, dan penggagas Negara Republik Indonesia pertama Tan Malaka. TEMPO bekerja sama dengan beberapa pihak lain mengumpulkan sisa-sisa sejarah tentang para pendiri bangsa ini melalui sember-sumber yang terpercaya. Sebut saja Harry A. Poeze, sejarawan asal Belanda, yang diwanwancarai secara khusus oleh TEMPO untuk memeroleh cerita tentang Tan Malaka, juga Rosihan Anwar, wartawan dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia,  tak luput dari jangkauan TEMPO untuk mencari jejak-jejak perjuangan seorang Sutan Sjahrir. Beberapa rujukan tentang tokoh-tokoh tersebut juga sangatlah luas, untuk mendapat cerita tentang Bung Hatta TEMPO merujuk pada otobiografi Bung Hatta yang berjudul Memoir (1979), juga otobiografi Tan Malaka yang berjudul  Dari Penjara ke Penjara (1947). Cerita dari orang terdekat para tokoh serta mendatangi tempat-tempat bersejarah yang berkaitan langsung dengan para tokoh dilakoni oleh TEMPO untuk menjamin keaslian cerita dari sumber-sumber yang didapat.

Cerita tentang Muhammad Hatta diawali dari sewaktu ia bersekolah di Tanah Minang berlanjut ke Batavia hingga ke Negeri Kincir Angin, Belanda. Serangkaian kegiatan yang dilakoni Bung Hatta tertulis dalam serial buku ini. Pergerakan-pergerakan Bapak Koperasi ini ditulis jelas mulai dari Perhimpunan Indonesia bersama para pelajar di Belanda, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia bersama Sjahrir, hingga perannya saat menyusun naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda diceritakan dalam buku ini. Beberapa tulisan Bung Hatta serta kutipan-kutipan yang ada di dalamnya tersaji dalam buku ini. Kisahnya bersama Bung Karno yang dijuluki sebagai Dwitunggal Indonesia hingga mereka berbeda pandangan kelak dituliskan di sini. Yang menarik adalah disajikannya foto-foto Bung Hatta pada saat momen-momen tak terduga, contohnya saat Bung Hatta beradu tarik tambang bersama beberapa petinggi daerah di kawasan Aceh. Di dalam buku ini juga terdapat pendapat-pendapat para ahli masa kini tentang sepak terjang Wakil Presiden Pertama Indonesia. Masalah kebijakan ekonomi, pergerakan pemikiran, hingga kebiasaan-kebiasaan Bung Hatta yang menjadi ciri khasnya diulas oleh para ahli.

Bapak Republik yang Dilupakan, begitulah judul yang tertulis di halaman depan buku serial yang menceritakan tentang Tan Malaka. Lahir di Suliki, Sumateran Barat, Tan mengelana ke berbagai penjuru dunia selama 20 tahun!. Belanda, Jerman, Rusia, Tiongkok, Filipina, Singapura, Thailand, Hong Kong, Myanmar, hingga kembali lagi ke Indonesia dia jalani sebagai seorang “Pelarian Politik” setelah oleh Pemerintah Belanda dibuang ke Belanda usai mendirikan sekolah rakyat di Semarang dan Bandung, juga menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Pra-Kemerdekaan. Dengan kurang lebih 23 nama samaran, 13 penjara, 89 ribu kilometer serta berbagai pekerjaan ia lalui selama dua dekade sebelum kembali ke Indonesia. 8 bahasa yang ia kuasai, 9 organisasi dengan berbagai jabatan yang ia singgahi, beberapa macam pekerjaan, juga banyak tulisan hasil buah pikiran Tan sendiri lahir selama dia hidup. “Dia yang mahir revolusi” adalah julukan Soekarno kepadanya. Tulisan-tulisannya selama masa pembuangan menjadi rujukan tokoh-tokoh negara lainnya. Massa Actie (1926) dan  Naar de Republiek Indonesia (1924) menjadi pedoman tokoh revolusi Indonesia dalam perjalanan menuju kemerdekaan. MADILOG(1948) dianggap sebagai mahakarya Tan Malaka dalam hidupnya yang berisi pikiran-pikiran beliau tentang cara berpikir manusia Indonesia. Ia juga menuliskan semua perjalan hidupnya dalam buku Dari Penjara ke Penjara(1947). Dalam serial ini kisah hidup Tan dikupas secara mendalam. Mulai dari masa ia bersekolah di Tanah Minang dan Belanda, hingga kematiannya secara tragis di Gunung Wilis oleh Tentara Republik Indonesia sendiri. Cara berpikir, pemahaman, kisah pergerakan, dan semangatnya menuju kemerdekaan Indonesia tertulis di buku ini. Satu hal yang unik di sini adalah tentang kisah cinta seorang Tan yang bisa dibilang cukup tragis, bahkan hingga menjelang ajal menjemputnya ia adalah seorang lajang. Beberapa pemikiran para ahli mengenai sosok Tan juga dijelaskan dalam buku ini.

Untuk mengenang 100 tahun kelahiran Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesa, yang terkenal dengan politik diplomasinya dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia, TEMPO mengulas sepak terjang tokoh Sosialis Demokratis yang mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) ini. Bung Kecil, julukan Sjahrir dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia tertulis dalam sampul depan serial bapak bangsa oleh TEMPO ini. Bapak bangsa yang terlahir dari keluarga bangsawan ini mulai menemukan ideologi dan ketertarikannya terhadap pergerakan politik mulai timbul di dalam rumah kosnya saat dia belajar di Belanda. Di bawah bimbingan seniornya, Muhammad Hatta, mereka berdua mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Partai Nasional Indonesia sebagai bentuk protes dan wadah pengaderan tokoh-tokoh Indonesia menghadapi penjajah Belanda. Di dalam buku ini diceritakan tentang pengalamannya dibuang oleh pemerintah Belanda ke berbagai tempat. Sebut saja Boven Digul yang terkenal angker oleh para tokoh nasional Indonesia sebagai tempat buangan yang tak seorangpun bisa lari keluar dari tempat itu, juga Banda Neira sempat ia singgahi. Di tempat pembuangan itulah dia mengangkat beberapa anak penduduk lokal sebagai anaknya sendiri yang kelak ia bawa kembali ke Pulau Jawa. Sang Bapak Kecil ini terkenal karena jalan diplomasinya terhadap pihak sekutu untuk mewujudkan dan memertahankan kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Beberapa kebijakan yang ditanggapi negatif oleh tokoh lain pun tak luput dari sejarahnya, hingga akhirnya jalan diplomasinya berbuah hasil saat Belanda mengakui keberadaan dan kemerdekaan Indonesia secara sah. Sjahrir terkenal bersama Amir Sjarifudin sebagai Dwitunggal lain selain Soekarno-Hatta dan Tan Malaka-Soedirman saat memerjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun diceritakan pula perpisahan Dwitunggal ini karena beberapa perbedaan pandangan. Peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok juga tak lepas dari peran Sjahrir dalam rangka mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Tokoh ini terkenal sebagai pemimpin gerakan bawah tanah saat Jepang mencoba menguasai wilayah Indonesia. Kisah cintanya dengan beberapa wanita hingga ujung hayatnya sebagai tahanan politik di Swiss juga diterangkan di buku ini. Tak lupa pandangan beberapa ahli terhadap pemikiran Sjahrir dan kehidupannya diulas dalam buku ini.

Pidato yang menggebu-gebu, cara menarik hati rakyat banyak, serta aura kharismatik yang dapat menyihir ribuan bahkan jutaan perhatian manusia yang menyaksikannya ketika berjalan di pelataran, ya itulah Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Tokoh kemerdekaan Indonesia yang lahir pada 6 Juni 1901 ini memang terkenal dengan teknik berpidatonya yang telah ia asah sejak kecil. Guru Sang Proklamator pun bukan main, sejak remaja dulu di Surabaya, Soekarno mendapat bimbingan langsung dari tokoh Syarikat Islam H.O.S Tjokroaminoto bersama beberapa kawan yang kelak bersama-sama mewujudkan Indonesia merdeka walau berbeda-beda pandangannya. Seorang Nasionalis yang membawa paham baru bernama Marhaenisme ini sudah terkenal namanya ke penjuru dunia. Konferensi Asia-Afrika menjadi salah satu torehan penting bagi tokoh revolusi Indonesia ini dalam mengambil hati masyarakat dunia ketika bangsa-bangsa kulit putih menguasai dunia. Tempo menceritakan lika-liku kehidupan Soekarno dengan sangat menarik. Mulai dari cerita pendidikannya, gerak-gerik politik dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia, hingga kisah cintanya bersama beberapa wanita yang dapat menimbulkan konflik tersendiri pada beberapa kalangan. Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme menjadi contoh auntentik dari kecenderungan intelektual dan analisis sejarah Bung Karno. Bersama Bung Hatta, ia menjadi pemimpin pertama Indonesia yang membawa Indonesia ke kancah kehidupan  kenegaraan di dunia. Bung Karno juga merupakan tokoh yang penuh kontroversi. Beberapa pertimbangan dan keputusannya kadang membuat tokoh-tokoh lain bertanya-tanya, contohnya adalah ketika dia mencetuskan sistem Demokrasi Terpimpin yang membuat pasangan Dwitunggalnya Muhammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden Indonesia. Dalam buku ini TEMPO juga menghadirkan pendapat dari para ahli tentang lika-liku pemikiran, pergerakan, serta kehidupan Bung Karno yang cukup kontroversial ini.


TEMPO menyajikan suatu pemanjaan terhadap hasrat para pembaca yang penasaran akan sepak terjang para pejuang kemerdekaan mulai dari kecil hingga akhir hayatnya. Dengan berbagai cerita dan pengalaman nyata serta survey ke tempat terjadinya peristiwa tersebut secara langsung, membuat data yang terkumpul semakin memerkuat isi serial buku ini akan pergerakan para tokoh menuju Kemerdekaan Indonesia. Dengan cara dan taktik yang berbeda-beda tokoh-tokoh ini memiliki satu tujuan yaitu Indonesia Merdeka dari penjajahan dan penindasan bangsa asing. Dengan berbagai kontroversi yang ada, semua rasa penasaran tersebut terbayar ketika teks proklamasi dibacakan di depan ribuan rakyat Indonesia. Semua cita-cita ini terwujud pada tanggal 17 bulan Agutus tahun 1945 sebagai momen awal lahirnya sebuah bangsa yang mau bebas tanpa diatur oleh negara lain.

You Might Also Like

0 komentar